ditulis oleh Content Team Rewina Ika Pratiwi

Tidak jarang, kisah fiksi terutama genre fantasi diposisikan sebagai ragam bacaan yang tidak serius, kurang berbobot, dan minim nilai edukasi. Namun, apakah benar demikian? 

Di bulan Desember 2025 kali ini, Leseclub berusaha menghadirkan ruang hangat untuk membicarakan topik tersebut melalui pembacaan dan diskusi buku Kisah Tanpa Akhir karya Michael Ende. 

Kisah Tanpa Akhir adalah buku karangan Michael Ende yang berkisah tentang Bastian Balthazar Bux, seorang anak laki-laki yang merasa terasing di dunia nyata akibat perundungan di sekolah dan relasi yang berjarak dengan ayahnya. Suatu hari, ia menemukan sebuah buku misterius yang membawanya ke dunia Fantasia, sebuah negeri imajinasi yang tengah terancam kehancuran oleh kekuatan bernama ‘ketiadaan’.Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1979 dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia untuk pertama kalinya oleh Hendarto Setiadi pada tahun 2025.

Pada sesi diskusi ini, BBB menghadirkan Hendarto Setiadi sebagai penerjemah Kisah Tanpa Akhir dan Herdiana Hakim sebagai peneliti sastra anak.

Membedah Buku Kisah Tanpa Akhir

Sesi kemudian dilanjutkan dengan pembacaan buku Kisah Tanpa Akhir yang difasilitasi oleh Kak Meita sebagai pembaca dan pengulas buku. Dalam sesi ini peserta secara bergantian membaca nyaring sebagian halaman dari buku Kisah Tanpa Akhir karya Michael Ende.

Berdasarkan hasil pembacaannya, Kak Meita mengatakan bahwa buku ini menghadirkan cerita berlapis antara dunia nyata dan dunia fantasi, yang ditegaskan dengan tipografi berbeda untuk menandai tiap lapisan cerita. Melalui fantasi, buku ini mengajak pembaca merefleksikan isu empati, kasih sayang, dan pencarian jati diri, sekaligus menjadi latihan fokus di tengah distraksi, relevan dibaca baik oleh remaja maupun orang dewasa.

Catatan Penerjemahan dari Pak Hendarto

Kisah Tanpa Akhir menghadirkan dua dunia, yakni dunia nyata dan dunia imajinasi yang saling mempengaruhi. Tantangan penerjemahnya terletak bukan pada bagian sekadar memindahkan kata, tetapi menjaga makna, struktur, dan pengalaman membaca agar maksud penulis tetap tersampaikan.

Pak Hendarto lalu menambahkan bahwa tantangan lainnya muncul dari segi tata bahasa. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan sistem kata ganti gender. Karena bahasa Indonesia tidak mengenalnya, penerjemah perlu mengeksplisitkan makna dengan menyebut nama agar konteks tetap jelas.

Memahami Manfaat Buku Fiksi dan Fantasi

Selain bertanya tentang proses penerjemahan sebuah karya dari Pak Hendarto, kami juga bertanya kepada Mbak Herdiana tentang manfaat baca buku fiksi terutama fantasi. Berikut adalah paparan Mbak Herdiana: 

  1. Mendorong kreativitas dan fleksibilitas berpikir
  2. Mendukung perkembangan otak (kemampuan kognitif, penalaran, dan bahasa)
  3. Meningkatkan atensi dan fokus
  4. Mendukung perkembangan sosial-emosional (melatih theory of mind, afeksi, dan empati)

Lantas, bagaimana dengan fiksi dengan genre fantasi? Benarkah tidak mendidik? 

Mbak Herdiana menyebutkan setidaknya ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari membiasakan diri membaca buku-buku fiksi fantasi bagi pembaca anak dan remaja,

“Intinya fantasi melatih berpikir kritis karena melihat perspektif baru. Kemudian mempertanyakan apa yang mungkin dan tidak mungkin. Melalui cerita, pembaca diajak mengikuti perjalanan moral dan pilihan-pilihan etis, sekaligus merefleksikan apa yang akan mereka pilih jika berada di posisi tokoh”

Ibu Herdiana juga mengatakan bahwa jika kita menganggap fantasi hanya bermanfaat saat dibaca, anggapan tersebut keliru. Seperti fiksi pada umumnya, membaca fantasi berkontribusi pada peningkatan literasi dengan membangun motivasi dan stamina membaca, terutama ketika pembaca menikmati novel yang kompleks.

Mendampingi Anak dalam Proses Membaca

Orang tua tentu saja tetap memiliki tanggung jawab untuk mendampingi anak dalam proses membaca. Dalam diskusi kali ini, Pak Hendarto dan Ibu Herdiana juga membagikan tips dalam mendampingi anak saat membaca buku. Yuk kita catat tipsnya!

  • Anak dan remaja perlu diperlakukan sebagai pembaca aktif yang memiliki agensi dan otonomi terhadap bacaan mereka.
  • Perbedaan tafsir adalah hal wajar selama pendapat didukung oleh bukti teks, karena membaca tidak memiliki satu makna tunggal.
  • Bagian terpenting adalah kemampuan pembaca membangun argumen dan menjelaskan proses berpikir di balik kesimpulan yang diambil.
  • Dalam konteks orang tua dan anak, perbedaan tafsir sebaiknya menjadi ruang diskusi yang hangat, bukan dipaksakan, untuk melatih berpikir kritis sekaligus mempererat relasi.

Sebuah diskusi yang menarik dan sangat ‘daging’ yaa, Buibu dan Manteman! Senang sekali sesi ini bisa menjadi penutup dari rangkaian kegiatan Leseclub selama tahun 2025 ini. Terima kasih untuk Buibu dan Manteman yang sudah berpartisipasi dan dua narasumber yang sudah meluangkan waktunya untuk berbagi dengan kami semua.

Oiya, kalau penasaran sama buku Kisah Tanpa Akhir, silakan mampir juga ke ulasan bukunya yang ditulis oleh tim BBB berikut ini:

Sampai jumpa di kesempatan lainnya!

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.