Tema: ‘An Inventory of Losses (Verzeichnis einiger Verluste)’ karya Judith Schalansky
Perwakilan Goethe Institut: Fita Andrianti
Narasumber:
- Hendarto Setiadi, Penerjemah buku ‘Verzeichnis einiger Verluste’
- Shafira Fawzia, psikolog klinis di Indonesian Psychological Healthcare Center IndoPsyCare
- Dani Hendra, S.Pd., M.A, Dosen program studi Bahasa Jerman, Universitas Pendidikan Indonesia, Ketua Ikatan Guru Bahasa Jerman Indonesia Jawa Barat, Penulis Buku dan Puisi Bahasa Jerman
Pengulas: Meita Eryanti (BBB Book Club)
Moderator: Puty Puar (BBB Book Club)

Leseclub di bulan November ini hadir sebagai penutup Leseclub di tahun 2021. Kembali berkolaborasi dengan Buibu Baca Buku, Goethe Institut Bandung mengangkat buku ‘Verzeichnis einiger Verluste’ / ‘An Inventory of Losses’ / ‘Tentang Memori dan Kehilangan Abadi’ karya Judith Schalansky yang terbit tahun 2018. Buku ini mendapatkan posisi ke- 4 pada kompetisi Stiftung Buchkunst’s “The Most Beautiful German Books” competition (German: Die schönsten deutschen Bücher) tahun 2019 dan masuk ke daftar panjang the 2021 International Booker Prize.
Acara berlangsung secara virtual pada hari Sabtu, 20 November 2021 pukul 13.00 WIB, dibuka dengan sambutan oleh Fita Andrianti selaku perwakilan dari Goethe Institut Bandung dan Bapak Dani Hendra selaku perwakilan program studi Bahasa Jerman, Universitas Pendidikan Indonesia yang juga merupakan Ketua Ikatan Guru Bahasa Jerman Indonesia Jawa Barat, Penulis Buku dan Puisi Bahasa Jerman.
Setelah resmi dibuka, acara dimulai dengan pembacaan buku Inventory of Losses halaman xiv – xix secara bergiliran.

Kemudian Meita Eryanti, perwakilan Buibu Baca Buku memaparkan ulasan buku ‘An Inventory of Losses’. Selain hal yang umum seperti identitas buku, Meita memaparkan bahwa buku ini terdiri dari 12 tulisan yang dapat dikategorikan sebagai esai dengan berbagai gaya, dimulai dengan ilustrasi dan fakta dalam beberapa paragraf.

Setelah pemaparan, diadakan tanya jawab bersama para narasumber membahas buku ini dari sisi penerjemahan, sastra, pendidikan, budaya dan psikologi.

Sebagai penerjemah, Pak Hendarto banyak bercerita sekaligus memberikan wawasan baru. Menurutnya, buku ini memiliki 3 keunikan:
- Buku ini dapat dikategorikan sebagai non-fiksi sekaligus fiksi. Buku ini berisi objek-objek yang memang tercatat memiliki sejarah dan didasarkan atas riset yang mendalam. Namun pengembangannya sendiri adalah narasi fiksi dengan berbagai gaya.
- Keduabelas cerita pada buku ini juga memiliki konteks ruang, waktu dan sudut pandang yang berbeda. Gaya penulisannya juga berbeda satu sama lain, oleh karena itu secara teknis penerjemahan ini juga menjadi tantangan tersendiri.
- Dalam proses penerjemahan, Pak Hendarto menceritakan bahwa buku ini diterjemahkan bersama-sama oleh 10 penerjemah ke dalam 10 bahasa dalam ‘Social Translating Project of the Goethe-Institut Korea’. Dalam proses penerjemahan, penerjemah bisa berbincang dengan penulis aslinya dan berdiskusi dengan penerjemah lain dari berbagai negara. Salah satu cerita menarik dari Pak Hendarto adalah soal bagaimana menerjemahkan ‘ich’ dalam bahasa Jerman yang berarti ‘saya’ namun perlu dipikirkan alih bahasanya ketika dibawa ke bahasa di negara-negara Asia yang lebih mengenal hierarki untuk menyebut diri sendiri, misalnya Thailand atau Indonesia.
Selain itu baik Pak Hendarto dan Pak Dian juga berbagi cerita tentang kecenderungan penggunaan kalimat-kalimat panjang dalam sastra Jerman. Menurut mereka, ini terjadi karena Bahasa Jerman memang memiliki tata bahasa yang mengatur kalimat-kalimat yang kompleks, sehingga tidak ada kebingungan pada saat menggunakannya. Namun demikian, hal ini memang relatif tidak mudah dan tidak biasa bagi pembaca berbahasa Indonesia dengan tata bahasa yang lebih sederhana.
Hal ini yang menurut Pak Dani sebagai pengajar Bahasa Jerman menjadi tantangan bagi sastra Jerman kontemporer untuk mendapat popularitas di kalangan pembaca Indonesia. Data membuktikan bahwa minat baca dan tingkat literasi di Indonesia terbilang masih minim. Hal ini sangat berbeda dengan Jerman yang memang sudah menjadikan membaca sebagai budaya di keluarga sejak dini, oleh karena itu sastra Jerman boleh terbilang ‘berat’.
Selain aspek sastra, diskusi Leseclub juga membahas aspek psikologis yang hadir pada buku ‘An Inventory of Losses’ ini, yaitu soal kehilangan dan kecenderungan kita untuk abai terhadap sesuatu sampai kita kehilangannya. Menurut Mbak Shafira, dari sisi psikologis ini dapat dijelaskan dari 2 aspek:
- Konsep ketersediaan. Dalam hidup, ketika kita mengasumsikan bahwa sesuatu akan terus tersedia, kita tidak akan menghargai keberadaannya seperti saat kita menyadari adanya keterbatasan. Begitupun dengan kematian / kepunahan, kita sering tidak menyadari bahwa sesuatu atau seseorang tidak akan terus ada.
- Intensitas emosi yang menurun seiring dengan proses ‘habituasi’ atau rasa terbiasa. Ketika sesuatu atau seseorang terus ada, maka intensitas emosi kita akan menurun dan tidak banyak merasakan apa-apa.
Bicara soal kematian, Pak Hendarto sedikit berbagi tentang perbedaan pandangan orang Jerman tentang kematian dengan orang Indonesia. Menurutnya ini bukan sesuatu yang spesifik untuk orang Jerman saja namun pada kecenderungan pada kelompok yang mengartikan kematian sebagai sesuatu yang terpisah dari kehidupan karena bukan lagi menjadi hal yang ada dalam kontrol manusia. Pemisahan ini membuat kematian terasa lebih ‘tragis’, apalagi untuk mereka dengan sistem masyarakat yang lebih individualis, karena kabar kematian yang datang akan datang dari lingkaran-lingkaran yang lebih kecil dan dekat.

Selama acara berlangsung, para ada berbagai pertanyaan yang ditujukan kepada para narasumber, salah satunya tentang tips melakukan alih bahasa. Pak Hendarto menyebut 3 poin yang menarik untuk dicatat:
- Baca buku sebanyak-banyaknya dan untuk buku yang akan diterjemahkan, jangan hanya satu kali. Baca berulang kali.
- Lakukan diskusi dengan sesama pembaca. Selain menyenangkan, ini juga akan memberi kita perspektif baru, termasuk saat memandang konteks subjek yang akan diterjemahkan.
- Jika ingin memulai, pilih buku yang kita sukai. Rasa suka ini akan menciptakan kebahagiaan untuk berbagi.
Dihadiri oleh lebih dari 80 orang yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, kami berharap Leseclub akan terus konsisten melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan minat baca dan ketertarikan pada sastra dan budaya Jerman.

Di akhir acara, Mbak Fita Andrianti ‘membocorkan’ teaser bahwa Leseclub akan kembali di tahun 2022 dan mudah-mudahan bisa terus berkolaborasi dengan Buibu Baca Buku Book Club 🙂 Hore!
Link terkait: https://www.goethe.de/ins/id/id/sta/ban/ver.cfm?event_id=22474974&
Tentang Buku

Verzeichnis einiger Verluste / Inventory of Losses / Tentang Memori dan Kehilangan Abadi
Penulis : Judith Schalansky
Terbit : 2018, Surkahmp Verlag
Terbit terjemahan: 2020, Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Alih Bahasa : Hendarto Setiadi
Jumlah halaman: 282 halaman
Genre : Sastra
Penghargaan : Longlisted for the 2021 International Booker Prize
Blurb:
Mengapa baru ketika sesuatu hilang untuk selamanya, kita merasakan betapa besar artinya bagi kita? Mengapa sesuatu yang ditutup-tutupi – entah dalam sejarah sebuah bangsa atau dalam keluarga sendiri – bisa berdampak begitu besar? Mengapa saya tidak bisa membuang apa pun? dan mengapa hewan yang telah punah, lukisan yang dirusak, dan buku yang dibakar terasa jauh lebih menarik dan lebih memesona dibandingkan seluruh sisanya yang masih ada?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membangkitkan keinginan dalam diri saya untuk menyusun semacam inventaris kehilangan, sebuah daftar mengenai hal-hal yang kita tahu pernah ada, tetapi kemudian lenyap – entah karena sengaja dimusnahkan atau karena menghilang begitu saja seiring berjalannya waktu.
Sebab sesuatu yang hilang-apakah orang yang disayangi atau seikat kunci- akan meninggalkan ruang realitas dan memasuki ruang mitos, berubah dari sesuatu yang faktual menjadi hal yang fiktif. Lalu muncullah peran bercerita, semua kisah dan anekdot yang membuat duka cita menjadi lebih tertahankan. Sebab bercerita itu membantu. Bercerita adalah pelipur lara terbaik dan pengalaman kehilangan, saya mendadak menyadari, adalah awal dari semua budaya.
Sebuah buku, menurut hemat saya, adalah terbaik dan terindah untuk menyimpan sesuatu. Buku seperti itulah yang ingin saya tulis dan rancang. Sebuah buku yang mengumpulkan dan menceritakan berbagai hal yang saya rindukan. Sebuah buku duka dan penghiburan. Buku yang menyoroti bukan hanya kehilangan, tetapi juga yang perolehan. Sebab tidak ada yang dapat dihadirkan kembali, namun segala sesuatu dapat dibuat agar bisa dialami lagi.